A.
Proses
Terbentuknya Kebudayaan Suku Sumbawa
Di
dalam tambo Samawa dan sebagaimana juga terdapat dalam berpuluh-puluh hikayat
yang dikenal Sumbawa menceritakan kepada kita bahwa suku Sumbawa atau “Tau
Samawa” awal terbentuknya, nenek moyang mereka adalah terdiri dari berbagai
jenis suku yang berdatangan dari berbagai bagian Nusantara kita ini. Mereka
mengadakan hubungan perkawinan dengan penduduk yang lebih dahulu mendiami daerah ini.
Walaupun mereka tidak bersama waktu datangnya, tetapi karena telah berabad-abad
lamanya hidup dalam lingkungan kekerabatan dan kekeluargaan, maka dari
keturunan mereka inilah akhirnya merupakan satu rumpun yang menamakan dirinya
“Tau Samawa”. Dari pengaruh percampurannya yang banyak dan luas ini, maka dapat
kita lihat, bahwa watak orang Sumbawa adalah kompromis dan penuh dengan rasa
toleran. Pribadi mereka diabadikan dalam suatu “lawas”:
Tutu’
si lenas mu gita.
Mara
ai dalam dulang.
Rosa
dadi umak rea.
Terjemahannya:
Lahirnya
tak beriak.
Seperti
air di dulang.
Namun
sesekali bisa menjulang
seperti
ombak mendebur pantai.
Tetapi di dalam kelompoknya yang berpisah-pisah
seperti misalnya kampong atau desa, mereka mempunyai sifat pembawaan
masing-masing, kira-kira dapat diartikan sebagai kumpulan julukan yang
diistilahkan dengan “balontar” (berpilin-pilin), masing-masing negeri memiliki
julukan, antara lain misalnya : “Samawa tanja’ Makasar”, Utan basanja’bae”,
“Rangking Pakajang Rate”, “Aru-aru Tatabel”, “Pasiki Lenangguar”, “Gambo
Pamangong”, “Merang Taliwang” dn lain-lain.
Dengan mengikuti perkembangan sejarahnya,
benar-benar nyata kebhinekaannya dengan masing-masing membawa kebudayaannya.
Tetapi walau demikian, nyata pula ketungal-ikaannya, karena semua yang mereka
bawa itu terelebur menjadi satu yaitu “KEBUDAYAAN SAMAWA”.
Selanjutnya bila kita menperhatikan adat- istiadat
yang hidup di kalangan orang-orang Sumbawa dapatlah kita lihat merupakan percampuran
adat-istiadat (cultur) Jawa dan Makasar/Bugis. Kita mengenal pengaruh peradaban
Jawa menurut sisa-sisa kini yang masih kita dapati, antara lain yaitu:
1) Bidang
bahasa, banyak kita temukan istilah-istilah terutama nama pejabat-pejabat
Kerajaan, seperti Dewa Maraja. Ranga, Dipati (Adipati), Mentari Telu, Mamanca
Lima, Lelurah Pitu dan perwira-perwiranya disebut Sarian, Penggawa, Bayangkara
dan lain-lain.
2) Bidang
adat-istiadat seperti “Biso tiyan” yaitu selamatan tujuh bulan kehamilan
pertama istri.
Di samping itu kita kenal pula dengan pegaruh
lainnya, yaitu dari suku Bugis/Makasar. Dengan perhubungna perkawinan
perpindahan anak-anak raja dari Goa dan Bugis turut mewarnai adat-istiadat
Sumbawa terutama dikalangan raja dan kaum bangsawan. Sehingga anak raj sebelum
kawin berhgelar “DaEng” dan setelah kawin bergelar “Datu”. Dalam berpakaian,
baik dalam pakaian sehari-hari terlebih
lagi pakaian raja, para menteri dan para “lanta” adalah dalam Bugis/Makasar.
Hiasan-hiasan bagi wanita maupun pria adalah serupa dengan Bugis/Makasar yang
lebih kerap dapat terlihat pada pakaian pengantin.
Karena pengaruh beraneka adat-istiadat itu
menyebabkan adat-istiadat asli suku Sumbawa sudah hampir tidak dikenal lagi
ciri khasnya dan timbullah sintesa dari ketiga adat-istiadat itu yang kini
merupakan adat-istiadat suku Sumbawa. Dari perpaaduan kebudayaan diatas,
kemudian bercampur lagi dengan keturunan-keturunan yang datang dari Palembang,
Minangkabau, Banjar dan lain-lain telah menjadikan suku Sumbawa berpancaran
darah seni dalam jiwanya. Kalau kita berada di tengah-tengah majelis
orang-orang tua, misalnya dalam upacara peminangan dan lain sebagainya, maka
kita akan mendengar dalam ucapan-ucapan sebagai pengantar kata, selalu dalam
rangkaian kata-kata yang bersifat puitis. Demikian juga misalnya ada barang
yang dikehendaki pada seseorang tidak langsung terlontar kata meminta. Tetapi
diselubung dengan kata-kata: “Ajan sempama katingka, batemung untung ke rela,
lebe jina ku rasate ade siya kango, na kena ya rowa si bosan, ba kareng aku mo
baeng jampang”.
Orang-orang membuat kumpulan “lawas-lawas” yang
dinamakan “bumbung”. Di atas permukaan daun lontar yang telah dikuningkan dulu
dengan kunyit, lebarnya kira-kira 2 cm dan panjangnya kira-kira 12 cm.
Lawas-lawas ditulis dengan cara menggoreskan daun lontar dengan ujung
“pangat”, yaitu semacam pisau salah satu
macam senjata orang Sumbawa. Berpuluh-puluh daun lontar di beri lobang pada
kedua ujungnya, demikian pula kulit pada sebelah atas dan sebelah bawahnya yang
dibuat dari kayu tipis diberi berlubang pada kedua ujungnya masing-masing,
kemudian kudua ujung yang berlubang itu masing-masing dicucuk dengan benang
yang dipilin, itulah yang dinamakan “bumung”.
Dalam bidang kesenian, secara
sepintas kelihatan Sumbawa kering dalam hal ini.
B.
Bahasa
Suku Sumbawa
Bahasa
Sumbawa, atau Basa
Samawa, adalah bahasa yang dituturkan di bekas wilayah Kesultanan
Sumbawa yaitu wilayah Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat. Jumlah penuturnya
sekitar 300 000 orang (1989).
Dari segi linguistik, bahasa Sumbawa
serumpun dengan bahasa Sasak. Kedua bahasa ini
merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Bali-Sasak-Sumbawa yang pada
gilirannya termasuk dalam satu kelompok "Utara dan Timur" dalam
kelompok Melayu-Sumbawa.
Dalam Bahasa Sumbawa, dikenal
beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah penyebarannya,
di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante, dan dialek-dialek lain
yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen, serta
penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang,
Jereweh, dan dialek Tongo. Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat
sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang
menandai bahwa betapa Suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur
etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar
keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh
komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar,
Bugis, dan Makassar.
Interaksi sosial yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa menuntut hadirnya bahasa yang mampu
menjembatani segala kepentingan mereka, konsekuensinya kelompok masyarakat yang
relatif lebih maju akan cenderung memengaruhi kelompok masyarakat yang berada
pada strata di bawahnya, maka bahasapun mengalir dan menyebar selaras dengan
perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek Sumbawa Besar yang cikal
bakalnya berasal dari dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja Islam di
Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat
Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara
otomatis menempati posisi sebagai dialek standar dalam Bahasa Sumbawa, artinya
variasi sosial atau regional suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar
bahasa dan mewakili dialek-dialek regional lain yang berada dalam Bahasa
Sumbawa.
Sebagai bahasa yang dominan dipakai
oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa, maka Basa Samawa tidak hanya diterima
sebagai bahasa pemersatu antaretnik penghuni bekas Kesultanan Sumbawa saja,
melainkan juga berguna sebagai media yang memperlancar kebudayaan daerah yang
didukung oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai sebagai bahasa percakapan sehari-hari
dalam kalangan elit politik, sosial, dan ekonomi, akibatnya basa Samawa
berkembang dengan mendapat kata-kata serapan dari bahasa asal etnik para
penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis,
Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin),
Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab, bahkan pada masa penjajahan basa Samawa
juga menyerap kosa kata asing yang berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang
sehingga basa Samawa kini telah diterima sebagai bahasa yang menunjukkan
tingkat kemapanan yang relatif tinggi dalam pembahasan bahasa-bahasa daerah.
C. Struktur Adat Suku Sumbawa
Golongan kesatuan sosial yang terkecil di Sumbawa
adalah keluarga (gezin) yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak yang belum
bersuami atau beristri. Famili di Sumbawa adalah himpunan dari pada deretan
orang-orang atau individu-individu yang sealiran darah dengan ayah atau dengan
ibu daripada seseorang. Jadi susunan keluarga yang berlaku di Sumbawa adalah
susunan bilateral, yaitu mengakui setiap individu selaku anggota familinya,
disebabkan oleh keturunan yang sama
dengan ayah dan ibunya. Namun demikian perlu dijelaskan disini, bahwa corak
daripada famili yang bilateral pada suku Sumbawa tidaklah akan dapat disamakan
dengan apa yang terdapat pada beberapa golongan Suku Bangsa Indonesia lainnya
(umpama Toraja) yang pada hakekatnya masih merupakan kesatuan sosial yang
besar, bahkan juga menjadi golongan kesatuan ekonomi. Sehubungan hal yang
tersebut ini, maka diseluruh Kerajaan Sumbawa tidak dijumpai desa-desa yang
tersusun daripada anggota-anggota family yang merupakan kesatuan geneaologis.
Raja dalam masyarakat Sumbawa adalah sebagai “Orang
yang dituakan”, figur pemersatu. Keputusan adat tertinggi dihasilkan oleh tiga
lembaga yang bersama-sama merupakan “Majelis Lima Belas Orang” dan diketuai
oleh Ranga sebagai Mangkubumi. Keputusan-keputusan ringan cukup oleh “Tau
Telu”, yaitu 1. Ranga, Ketua Dewan Menteri, 2. Longan Samapuin, Ketua Mamanca
Lima dan 3. Ngeru, Ketua Lelurah Pitu. Segala keputusan diteguhkan oleh Raja,
sehingga dengan demikian lalu mendapatkan kekuatan hokum. Keempat Lembaga yang
menghasilkan hukum ini ialah Raja, Menteri Telu, Memanca Lima, dan Lelurah
Pitu, secara bersama-sama disebut “Catur Papat”. Segala keputusan Adat
diumumkan kepada rakyat selalu didahului dengan menyebut: “KASUKA DEWA MASMAWA
SERTA TANA’ SAMAWA”.
v Bala Rea
Bala Rea dapat disebutkan dalam bahasa Indonesia
“Rumah Besar/Rumah Gadang”, tetapi mempunyai fungsi yang berlainan. “Bala Rea”
merupakan tumpuan kegiatan Kerajaan / Pemerintahan. Disamping itu berfungsi
juga sebagai kediaman Raja beserta keluarga dan “abdi dalem” yang mengurus
langsung kehidupan Raja dan keluarganya sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar