Rabu, 05 Desember 2012

Kebudayaan Suku SUmbawa



A.      Proses Terbentuknya Kebudayaan Suku Sumbawa
Di dalam tambo Samawa dan sebagaimana juga terdapat dalam berpuluh-puluh hikayat yang dikenal Sumbawa menceritakan kepada kita bahwa suku Sumbawa atau “Tau Samawa” awal terbentuknya, nenek moyang mereka adalah terdiri dari berbagai jenis suku yang berdatangan dari berbagai bagian Nusantara kita ini. Mereka mengadakan hubungan perkawinan dengan penduduk  yang lebih dahulu mendiami daerah ini. Walaupun mereka tidak bersama waktu datangnya, tetapi karena telah berabad-abad lamanya hidup dalam lingkungan kekerabatan dan kekeluargaan, maka dari keturunan mereka inilah akhirnya merupakan satu rumpun yang menamakan dirinya “Tau Samawa”. Dari pengaruh percampurannya yang banyak dan luas ini, maka dapat kita lihat, bahwa watak orang Sumbawa adalah kompromis dan penuh dengan rasa toleran. Pribadi mereka diabadikan dalam suatu “lawas”:
Tutu’ si lenas mu gita.
Mara ai dalam dulang.
Rosa dadi umak rea.
Terjemahannya:
Lahirnya tak beriak.
Seperti air di dulang.
Namun sesekali bisa menjulang
seperti ombak mendebur pantai.
Tetapi di dalam kelompoknya yang berpisah-pisah seperti misalnya kampong atau desa, mereka mempunyai sifat pembawaan masing-masing, kira-kira dapat diartikan sebagai kumpulan julukan yang diistilahkan dengan “balontar” (berpilin-pilin), masing-masing negeri memiliki julukan, antara lain misalnya : “Samawa tanja’ Makasar”, Utan basanja’bae”, “Rangking Pakajang Rate”, “Aru-aru Tatabel”, “Pasiki Lenangguar”, “Gambo Pamangong”, “Merang Taliwang” dn lain-lain.
Dengan mengikuti perkembangan sejarahnya, benar-benar nyata kebhinekaannya dengan masing-masing membawa kebudayaannya. Tetapi walau demikian, nyata pula ketungal-ikaannya, karena semua yang mereka bawa itu terelebur menjadi satu yaitu “KEBUDAYAAN SAMAWA”.
Selanjutnya bila kita menperhatikan adat- istiadat yang hidup di kalangan orang-orang Sumbawa dapatlah kita lihat merupakan percampuran adat-istiadat (cultur) Jawa dan Makasar/Bugis. Kita mengenal pengaruh peradaban Jawa menurut sisa-sisa kini yang masih kita dapati, antara lain yaitu:
1)      Bidang bahasa, banyak kita temukan istilah-istilah terutama nama pejabat-pejabat Kerajaan, seperti Dewa Maraja. Ranga, Dipati (Adipati), Mentari Telu, Mamanca Lima, Lelurah Pitu dan perwira-perwiranya disebut Sarian, Penggawa, Bayangkara dan lain-lain.
2)      Bidang adat-istiadat seperti “Biso tiyan” yaitu selamatan tujuh bulan kehamilan pertama istri.
Di samping itu kita kenal pula dengan pegaruh lainnya, yaitu dari suku Bugis/Makasar. Dengan perhubungna perkawinan perpindahan anak-anak raja dari Goa dan Bugis turut mewarnai adat-istiadat Sumbawa terutama dikalangan raja dan kaum bangsawan. Sehingga anak raj sebelum kawin berhgelar “DaEng” dan setelah kawin bergelar “Datu”. Dalam berpakaian, baik dalam pakaian sehari-hari  terlebih lagi pakaian raja, para menteri dan para “lanta” adalah dalam Bugis/Makasar. Hiasan-hiasan bagi wanita maupun pria adalah serupa dengan Bugis/Makasar yang lebih kerap dapat terlihat pada pakaian pengantin.
Karena pengaruh beraneka adat-istiadat itu menyebabkan adat-istiadat asli suku Sumbawa sudah hampir tidak dikenal lagi ciri khasnya dan timbullah sintesa dari ketiga adat-istiadat itu yang kini merupakan adat-istiadat suku Sumbawa. Dari perpaaduan kebudayaan diatas, kemudian bercampur lagi dengan keturunan-keturunan yang datang dari Palembang, Minangkabau, Banjar dan lain-lain telah menjadikan suku Sumbawa berpancaran darah seni dalam jiwanya. Kalau kita berada di tengah-tengah majelis orang-orang tua, misalnya dalam upacara peminangan dan lain sebagainya, maka kita akan mendengar dalam ucapan-ucapan sebagai pengantar kata, selalu dalam rangkaian kata-kata yang bersifat puitis. Demikian juga misalnya ada barang yang dikehendaki pada seseorang tidak langsung terlontar kata meminta. Tetapi diselubung dengan kata-kata: “Ajan sempama katingka, batemung untung ke rela, lebe jina ku rasate ade siya kango, na kena ya rowa si bosan, ba kareng aku mo baeng jampang”.
Orang-orang membuat kumpulan “lawas-lawas” yang dinamakan “bumbung”. Di atas permukaan daun lontar yang telah dikuningkan dulu dengan kunyit, lebarnya kira-kira 2 cm dan panjangnya kira-kira 12 cm. Lawas-lawas ditulis dengan cara menggoreskan daun lontar dengan ujung “pangat”,  yaitu semacam pisau salah satu macam senjata orang Sumbawa. Berpuluh-puluh daun lontar di beri lobang pada kedua ujungnya, demikian pula kulit pada sebelah atas dan sebelah bawahnya yang dibuat dari kayu tipis diberi berlubang pada kedua ujungnya masing-masing, kemudian kudua ujung yang berlubang itu masing-masing dicucuk dengan benang yang dipilin, itulah yang dinamakan “bumung”.
                        Dalam bidang kesenian, secara sepintas kelihatan Sumbawa kering dalam hal ini.

B.     Bahasa Suku Sumbawa

Bahasa Sumbawa, atau Basa Samawa, adalah bahasa yang dituturkan di bekas wilayah Kesultanan Sumbawa yaitu wilayah Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat. Jumlah penuturnya sekitar 300 000 orang (1989).
Dari segi linguistik, bahasa Sumbawa serumpun dengan bahasa Sasak. Kedua bahasa ini merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Bali-Sasak-Sumbawa yang pada gilirannya termasuk dalam satu kelompok "Utara dan Timur" dalam kelompok Melayu-Sumbawa.
Dalam Bahasa Sumbawa, dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante, dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen, serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo. Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa Suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar, Bugis, dan Makassar.
Interaksi sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa menuntut hadirnya bahasa yang mampu menjembatani segala kepentingan mereka, konsekuensinya kelompok masyarakat yang relatif lebih maju akan cenderung memengaruhi kelompok masyarakat yang berada pada strata di bawahnya, maka bahasapun mengalir dan menyebar selaras dengan perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek Sumbawa Besar yang cikal bakalnya berasal dari dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja Islam di Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara otomatis menempati posisi sebagai dialek standar dalam Bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau regional suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek regional lain yang berada dalam Bahasa Sumbawa.
Sebagai bahasa yang dominan dipakai oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa, maka Basa Samawa tidak hanya diterima sebagai bahasa pemersatu antaretnik penghuni bekas Kesultanan Sumbawa saja, melainkan juga berguna sebagai media yang memperlancar kebudayaan daerah yang didukung oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam kalangan elit politik, sosial, dan ekonomi, akibatnya basa Samawa berkembang dengan mendapat kata-kata serapan dari bahasa asal etnik para penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab, bahkan pada masa penjajahan basa Samawa juga menyerap kosa kata asing yang berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang sehingga basa Samawa kini telah diterima sebagai bahasa yang menunjukkan tingkat kemapanan yang relatif tinggi dalam pembahasan bahasa-bahasa daerah.

C.    Struktur Adat Suku Sumbawa

Golongan kesatuan sosial yang terkecil di Sumbawa adalah keluarga (gezin) yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak yang belum bersuami atau beristri. Famili di Sumbawa adalah himpunan dari pada deretan orang-orang atau individu-individu yang sealiran darah dengan ayah atau dengan ibu daripada seseorang. Jadi susunan keluarga yang berlaku di Sumbawa adalah susunan bilateral, yaitu mengakui setiap individu selaku anggota familinya, disebabkan oleh keturunan  yang sama dengan ayah dan ibunya. Namun demikian perlu dijelaskan disini, bahwa corak daripada famili yang bilateral pada suku Sumbawa tidaklah akan dapat disamakan dengan apa yang terdapat pada beberapa golongan Suku Bangsa Indonesia lainnya (umpama Toraja) yang pada hakekatnya masih merupakan kesatuan sosial yang besar, bahkan juga menjadi golongan kesatuan ekonomi. Sehubungan hal yang tersebut ini, maka diseluruh Kerajaan Sumbawa tidak dijumpai desa-desa yang tersusun daripada anggota-anggota family yang merupakan kesatuan geneaologis.
Raja dalam masyarakat Sumbawa adalah sebagai “Orang yang dituakan”, figur pemersatu. Keputusan adat tertinggi dihasilkan oleh tiga lembaga yang bersama-sama merupakan “Majelis Lima Belas Orang” dan diketuai oleh Ranga sebagai Mangkubumi. Keputusan-keputusan ringan cukup oleh “Tau Telu”, yaitu 1. Ranga, Ketua Dewan Menteri, 2. Longan Samapuin, Ketua Mamanca Lima dan 3. Ngeru, Ketua Lelurah Pitu. Segala keputusan diteguhkan oleh Raja, sehingga dengan demikian lalu mendapatkan kekuatan hokum. Keempat Lembaga yang menghasilkan hukum ini ialah Raja, Menteri Telu, Memanca Lima, dan Lelurah Pitu, secara bersama-sama disebut “Catur Papat”. Segala keputusan Adat diumumkan kepada rakyat selalu didahului dengan menyebut: “KASUKA DEWA MASMAWA SERTA TANA’ SAMAWA”.
v   Bala Rea
Bala Rea dapat disebutkan dalam bahasa Indonesia “Rumah Besar/Rumah Gadang”, tetapi mempunyai fungsi yang berlainan. “Bala Rea” merupakan tumpuan kegiatan Kerajaan / Pemerintahan. Disamping itu berfungsi juga sebagai kediaman Raja beserta keluarga dan “abdi dalem” yang mengurus langsung kehidupan Raja dan keluarganya sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar