Mengenal Sosiologi
Selasa, 01 Januari 2013
Rabu, 05 Desember 2012
Kebudayaan Suku SUmbawa
A.
Proses
Terbentuknya Kebudayaan Suku Sumbawa
Di
dalam tambo Samawa dan sebagaimana juga terdapat dalam berpuluh-puluh hikayat
yang dikenal Sumbawa menceritakan kepada kita bahwa suku Sumbawa atau “Tau
Samawa” awal terbentuknya, nenek moyang mereka adalah terdiri dari berbagai
jenis suku yang berdatangan dari berbagai bagian Nusantara kita ini. Mereka
mengadakan hubungan perkawinan dengan penduduk yang lebih dahulu mendiami daerah ini.
Walaupun mereka tidak bersama waktu datangnya, tetapi karena telah berabad-abad
lamanya hidup dalam lingkungan kekerabatan dan kekeluargaan, maka dari
keturunan mereka inilah akhirnya merupakan satu rumpun yang menamakan dirinya
“Tau Samawa”. Dari pengaruh percampurannya yang banyak dan luas ini, maka dapat
kita lihat, bahwa watak orang Sumbawa adalah kompromis dan penuh dengan rasa
toleran. Pribadi mereka diabadikan dalam suatu “lawas”:
Tutu’
si lenas mu gita.
Mara
ai dalam dulang.
Rosa
dadi umak rea.
Terjemahannya:
Lahirnya
tak beriak.
Seperti
air di dulang.
Namun
sesekali bisa menjulang
seperti
ombak mendebur pantai.
Tetapi di dalam kelompoknya yang berpisah-pisah
seperti misalnya kampong atau desa, mereka mempunyai sifat pembawaan
masing-masing, kira-kira dapat diartikan sebagai kumpulan julukan yang
diistilahkan dengan “balontar” (berpilin-pilin), masing-masing negeri memiliki
julukan, antara lain misalnya : “Samawa tanja’ Makasar”, Utan basanja’bae”,
“Rangking Pakajang Rate”, “Aru-aru Tatabel”, “Pasiki Lenangguar”, “Gambo
Pamangong”, “Merang Taliwang” dn lain-lain.
Dengan mengikuti perkembangan sejarahnya,
benar-benar nyata kebhinekaannya dengan masing-masing membawa kebudayaannya.
Tetapi walau demikian, nyata pula ketungal-ikaannya, karena semua yang mereka
bawa itu terelebur menjadi satu yaitu “KEBUDAYAAN SAMAWA”.
Selanjutnya bila kita menperhatikan adat- istiadat
yang hidup di kalangan orang-orang Sumbawa dapatlah kita lihat merupakan percampuran
adat-istiadat (cultur) Jawa dan Makasar/Bugis. Kita mengenal pengaruh peradaban
Jawa menurut sisa-sisa kini yang masih kita dapati, antara lain yaitu:
1) Bidang
bahasa, banyak kita temukan istilah-istilah terutama nama pejabat-pejabat
Kerajaan, seperti Dewa Maraja. Ranga, Dipati (Adipati), Mentari Telu, Mamanca
Lima, Lelurah Pitu dan perwira-perwiranya disebut Sarian, Penggawa, Bayangkara
dan lain-lain.
2) Bidang
adat-istiadat seperti “Biso tiyan” yaitu selamatan tujuh bulan kehamilan
pertama istri.
Di samping itu kita kenal pula dengan pegaruh
lainnya, yaitu dari suku Bugis/Makasar. Dengan perhubungna perkawinan
perpindahan anak-anak raja dari Goa dan Bugis turut mewarnai adat-istiadat
Sumbawa terutama dikalangan raja dan kaum bangsawan. Sehingga anak raj sebelum
kawin berhgelar “DaEng” dan setelah kawin bergelar “Datu”. Dalam berpakaian,
baik dalam pakaian sehari-hari terlebih
lagi pakaian raja, para menteri dan para “lanta” adalah dalam Bugis/Makasar.
Hiasan-hiasan bagi wanita maupun pria adalah serupa dengan Bugis/Makasar yang
lebih kerap dapat terlihat pada pakaian pengantin.
Karena pengaruh beraneka adat-istiadat itu
menyebabkan adat-istiadat asli suku Sumbawa sudah hampir tidak dikenal lagi
ciri khasnya dan timbullah sintesa dari ketiga adat-istiadat itu yang kini
merupakan adat-istiadat suku Sumbawa. Dari perpaaduan kebudayaan diatas,
kemudian bercampur lagi dengan keturunan-keturunan yang datang dari Palembang,
Minangkabau, Banjar dan lain-lain telah menjadikan suku Sumbawa berpancaran
darah seni dalam jiwanya. Kalau kita berada di tengah-tengah majelis
orang-orang tua, misalnya dalam upacara peminangan dan lain sebagainya, maka
kita akan mendengar dalam ucapan-ucapan sebagai pengantar kata, selalu dalam
rangkaian kata-kata yang bersifat puitis. Demikian juga misalnya ada barang
yang dikehendaki pada seseorang tidak langsung terlontar kata meminta. Tetapi
diselubung dengan kata-kata: “Ajan sempama katingka, batemung untung ke rela,
lebe jina ku rasate ade siya kango, na kena ya rowa si bosan, ba kareng aku mo
baeng jampang”.
Orang-orang membuat kumpulan “lawas-lawas” yang
dinamakan “bumbung”. Di atas permukaan daun lontar yang telah dikuningkan dulu
dengan kunyit, lebarnya kira-kira 2 cm dan panjangnya kira-kira 12 cm.
Lawas-lawas ditulis dengan cara menggoreskan daun lontar dengan ujung
“pangat”, yaitu semacam pisau salah satu
macam senjata orang Sumbawa. Berpuluh-puluh daun lontar di beri lobang pada
kedua ujungnya, demikian pula kulit pada sebelah atas dan sebelah bawahnya yang
dibuat dari kayu tipis diberi berlubang pada kedua ujungnya masing-masing,
kemudian kudua ujung yang berlubang itu masing-masing dicucuk dengan benang
yang dipilin, itulah yang dinamakan “bumung”.
Dalam bidang kesenian, secara
sepintas kelihatan Sumbawa kering dalam hal ini.
B.
Bahasa
Suku Sumbawa
Bahasa
Sumbawa, atau Basa
Samawa, adalah bahasa yang dituturkan di bekas wilayah Kesultanan
Sumbawa yaitu wilayah Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat. Jumlah penuturnya
sekitar 300 000 orang (1989).
Dari segi linguistik, bahasa Sumbawa
serumpun dengan bahasa Sasak. Kedua bahasa ini
merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Bali-Sasak-Sumbawa yang pada
gilirannya termasuk dalam satu kelompok "Utara dan Timur" dalam
kelompok Melayu-Sumbawa.
Dalam Bahasa Sumbawa, dikenal
beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah penyebarannya,
di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante, dan dialek-dialek lain
yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen, serta
penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang,
Jereweh, dan dialek Tongo. Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat
sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang
menandai bahwa betapa Suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur
etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar
keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh
komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar,
Bugis, dan Makassar.
Interaksi sosial yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa menuntut hadirnya bahasa yang mampu
menjembatani segala kepentingan mereka, konsekuensinya kelompok masyarakat yang
relatif lebih maju akan cenderung memengaruhi kelompok masyarakat yang berada
pada strata di bawahnya, maka bahasapun mengalir dan menyebar selaras dengan
perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek Sumbawa Besar yang cikal
bakalnya berasal dari dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja Islam di
Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat
Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara
otomatis menempati posisi sebagai dialek standar dalam Bahasa Sumbawa, artinya
variasi sosial atau regional suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar
bahasa dan mewakili dialek-dialek regional lain yang berada dalam Bahasa
Sumbawa.
Sebagai bahasa yang dominan dipakai
oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa, maka Basa Samawa tidak hanya diterima
sebagai bahasa pemersatu antaretnik penghuni bekas Kesultanan Sumbawa saja,
melainkan juga berguna sebagai media yang memperlancar kebudayaan daerah yang
didukung oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai sebagai bahasa percakapan sehari-hari
dalam kalangan elit politik, sosial, dan ekonomi, akibatnya basa Samawa
berkembang dengan mendapat kata-kata serapan dari bahasa asal etnik para
penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis,
Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin),
Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab, bahkan pada masa penjajahan basa Samawa
juga menyerap kosa kata asing yang berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang
sehingga basa Samawa kini telah diterima sebagai bahasa yang menunjukkan
tingkat kemapanan yang relatif tinggi dalam pembahasan bahasa-bahasa daerah.
C. Struktur Adat Suku Sumbawa
Golongan kesatuan sosial yang terkecil di Sumbawa
adalah keluarga (gezin) yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak yang belum
bersuami atau beristri. Famili di Sumbawa adalah himpunan dari pada deretan
orang-orang atau individu-individu yang sealiran darah dengan ayah atau dengan
ibu daripada seseorang. Jadi susunan keluarga yang berlaku di Sumbawa adalah
susunan bilateral, yaitu mengakui setiap individu selaku anggota familinya,
disebabkan oleh keturunan yang sama
dengan ayah dan ibunya. Namun demikian perlu dijelaskan disini, bahwa corak
daripada famili yang bilateral pada suku Sumbawa tidaklah akan dapat disamakan
dengan apa yang terdapat pada beberapa golongan Suku Bangsa Indonesia lainnya
(umpama Toraja) yang pada hakekatnya masih merupakan kesatuan sosial yang
besar, bahkan juga menjadi golongan kesatuan ekonomi. Sehubungan hal yang
tersebut ini, maka diseluruh Kerajaan Sumbawa tidak dijumpai desa-desa yang
tersusun daripada anggota-anggota family yang merupakan kesatuan geneaologis.
Raja dalam masyarakat Sumbawa adalah sebagai “Orang
yang dituakan”, figur pemersatu. Keputusan adat tertinggi dihasilkan oleh tiga
lembaga yang bersama-sama merupakan “Majelis Lima Belas Orang” dan diketuai
oleh Ranga sebagai Mangkubumi. Keputusan-keputusan ringan cukup oleh “Tau
Telu”, yaitu 1. Ranga, Ketua Dewan Menteri, 2. Longan Samapuin, Ketua Mamanca
Lima dan 3. Ngeru, Ketua Lelurah Pitu. Segala keputusan diteguhkan oleh Raja,
sehingga dengan demikian lalu mendapatkan kekuatan hokum. Keempat Lembaga yang
menghasilkan hukum ini ialah Raja, Menteri Telu, Memanca Lima, dan Lelurah
Pitu, secara bersama-sama disebut “Catur Papat”. Segala keputusan Adat
diumumkan kepada rakyat selalu didahului dengan menyebut: “KASUKA DEWA MASMAWA
SERTA TANA’ SAMAWA”.
v Bala Rea
Bala Rea dapat disebutkan dalam bahasa Indonesia
“Rumah Besar/Rumah Gadang”, tetapi mempunyai fungsi yang berlainan. “Bala Rea”
merupakan tumpuan kegiatan Kerajaan / Pemerintahan. Disamping itu berfungsi
juga sebagai kediaman Raja beserta keluarga dan “abdi dalem” yang mengurus
langsung kehidupan Raja dan keluarganya sehari-hari.
Etnografi
Tema : Keba
Tua
KEBA TUA
A.
Latar
Belakang
Kita
mengetahui banyak sekali upacara keagamaan yang telah menjadi kebudayaan di
negara Indonesia, karena Indonesia merupakan Negara yang mempunyai banyak
penduduk yang berbeda agama di dalamnya, maka Indonesia merupakan Negara yang
sarat akan upacara-upacara keagamaannya. Di Indonesia masih banyak sekali
kegiatan-kegiatan upacara keagamaan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan
mulai dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini.Khususnya pulau Jawa, masih
banyak juga upacara-upacara keagamaan dan kebiasaan-kebiasaan seperti itu yang
masih dilestarikan oleh masyarakat yang ada sekarang.Upacara keagamaan atau
kebiasaan-kebiasaan tertentu hanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu,
bulan-bulan tertentu, serta pada acara tertentu pula. Banyak orang disekitar
kita yang masih mempercayai jika mereka tidak melaksanakan upacara keagamaan atau
kebiasaan-kebiasaan yang seharusnya mereka lakukan maka akan membawa kesialan
dalam dirinya dan jika mereka melakukan hal tersebut mereka percaya akan
mendapatkan keberkahan atau keuntungan yang akan mereka rasakan di kemudian
hari. Tetapi Di Indonesia juga banyak kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan
yang mulai ditinggalkan oleh
masyarakatnya sendiri. Masyarakat Indonesia lebih tertarik kepada
kebudayaan – kebudayaan yang berasal dari luar negeri, mungkin ini adalah salah
satu dampak dari globlaisasi. Banyak yang melupakan upacara-upacara atau kebiasaan-kebiasaan
yang menyangkut masyarakat itu sendiri tetapi jika upacara atau peringatan
tentang Negara lain atau bahkan artis kesukaannya mereka justru akan selalu
mengingatnya.Walaupun sesungguhnya upacara ataupun kebiasaan tersebut merupakan
salah satu identitas jati diri bangsa kita yang seharusnya lebih dipentingkan
dan seharusnya lebih diingat dahulu serta dilestarikan daripada kebiasaan atau
upacara-upacara yang lain selain kebiasaan atau upacara-upacara yang ada di
Indonesia ini.
Salah satu
kebiasaan yang sekarang ini menjadi kebudayaan karena sudah mulai dilakukan
bertahun-tahun yang lalu yaitu Keba Tua.Dimana sebenarnya manfaat dari Keba Tua
ini sangat berguna untuk kita semua. Banyak anak muda zaman sekarang yang
kurang bahkan tidak tahu mengenai apa sebenarnya Keba Tua itu. Apalagi ditengah
demam korea yang sedang melanda dunia termasuk Negara Indonesia mengakibatkan
semakin bertambahnya penyebab untuk melupakan upacara atau peringatan yang
telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat kita sendiri yang seharusnya
kita lakukan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Keba Tua ?
2.
Apa tujuan melaksanakan Keba Tua ?
3.
Apakah syarat melaksanakan Keba Tua ?
4.
Bagaimana prosesi Keba Tua ?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulis menyusun makalah ini adalah memberikan beberapa informasi sekaligus
memperkenalkan kepada masyarakat umum mengenai hasil dari penelitian yang
dilakukan oleh penulis yaitu mengenai Keba Tua.Apa itu sebenarnya Keba Tua dan
mengapa kita harus melestarikan upacara-upacara keagamaan seperti ini kepada
para pembaca.
BAB
II
POKOK-POKOK
TEMUAN
Dari
penelitian yang telah dilakukan mengenai Keba Tua, peneliti menemukan beberapa
fakta yang telah didapatkan oleh beberapa narasumber yang telah menjadi
informan bagi peneliti.Beberapa fakta tersebut yaitu bahwa Keba Tua awal
mulanya hanyalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh sebagian besar warga
masyarakat desa Candiwulan yang dilaksanakan setiap tahun sekali yaitu pada
bulan Suro (hitungan bulan dalam Jawa) yang telah menjadi kebiasaan dan melebar
menjadi kebudayaan bagi masyarakat desa setempat. Orang zaman sekarang juga
mungkin masih ada yang bingung tentangapa sesungguhnya Keba Tua itu sendiri,
termasuk juga orang yang pernah melakukan kebiasaan Keba Tua tersebut. Hal ini
dikarenakan kebiasaan ini merupakan kebiasaan yang diwariskan secara
turun-temurun namun kurang jelas tentang apa alasan orang melakukan kebiasaan
tersebut. Dalam pelaksanaannya, Keba Tua itu sendiri memiliki beberapa syarat
yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melaksanakan kegiatan Keba Tua
ini. Selain hal tersebut, ada lagi fakta yang didapat oleh peneliti tentang
perlakuan warga masyarakat terhadap seseorang yang apabila dia sudah memenuhi
segala syarat melakukan Keba Tua tetapi seseorang tersebut tidak melakukannya
maka seseorang terebut akan mendapatkan sanksi dari warga masyarakat yang lain.
Sanksinya bukan berupa sanksi hokum yang sifatnya memaksa dan mengikat pelaku
yang melanggarnya, tetapi sanksi disini hanyalah sanksi yang tidak bersifat
memaksa dan mengikat para pelaku yang tidak melaksanakan kegiatan tersebut.
Menurut hasil penelitian jika seseorang yang sudah cukup syarat melaksanakan
Keba Tua tetapi tidak melaksanakannya maka akan mendapat sanksi berupa
gunjingan dari warga masyarakat yang lain dan cenderung seseorang tersebut akan
dikucilkan oleh warga masyarakat itu sendiri.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Keba Tua
Keba
Tua merupakan bagian dari upacara peringatan tahun baru Islam yaitu tahun baru
Hijriah yang dilaksanakan setiap bulan Suro( dalam bulan Jawa ). Keba Tua
adalah kegiatan tahunan yang dilakukan oleh sebagian besar warga masyarakat
kota Kebumen khususnya di daerah desa Candiwulan. Keba Tua dilakukan jika
seorang perempuan tua yang sudah mempunyai anak sedangkan anak-anak mereka
sudah “mentas” dalam arti yaitu sudah berkeluarga semua maka orang tua tersebut
wajib bersyukur dengan mengadakan sebuah acara seperti syukuran atau selamatan
yang dinamakan dengan Keba Tua.Sesungguhnya alasan mengapa pada zaman dahulu
banayak orang melakukan Keba Tua hanyalah sebuah naluri semata dan berupa
kebiasaan yang telah turun temurun dilakukan. Tanpa mengetahui apa arti yang
sesungguhnya dari Keba Tua itu sendiri dan apa manfaatnya jika seseorang
melakukan kegiatan tersebut. Karena Keba Tua merupakan kegiatan yang lahir dan
dilakukan secara turun temurun dari zaman nenek moyang mereka hingga
sekarang.Namun zaman sekarang masyarakat mengartikan Keba Tua menurut
keyakinannya masing-masing.Dan banyak orang yang cenderung mengartikan Keba Tua
itu sendiri merupakan sebuah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan mereka yaitu
Allah SWT karena telah memberikan kenikmatan kepada mereka berupa kesehatan dan
umur panjang serta keturunan yang sehat.
Berbeda
dengan Keba biasa yang tujuannya yaitu selamatan bagi anak yang masih di dalam
kandungan yang berusia tujuh bulan agar bayi yang di dalam kandungan selamat
sampai bayi tersebut keluar dari rahim ibunya.Keba Tua dilakukan tidak hanya
bertujuan sebagai kegiatan syukuran atau selamatan bagi orang yang
melaksanakannya tetapi juga syukuran atau selamatan bagi anak dan cucu dari
orang yang melaksanakan Keba Tua tersebut. Keba Tua biasanya dilaksanakan
paling sedikit 3 (tiga) kali oleh orang yang telah memenuhi syarat-syaratnya,
tetapi jika kurang atau lebih dari itu juga tidak akan dikenai sanksi atau
hukuman khusus yang diberikan oleh warga masyarakat sekitarnya. Karena Keba Tua
merupakan perwujudan rasa syukur yang diungkapkan oleh orang yang mengadakan
kegiatan tersebut, jika seseorang yang sering mengadaan Keba Tua berarti orang
tersebut adalah orang yang senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas apa yang
telah Allah berikan kepada dia. Sehingga berapa banyaknya seseorang mengadakan
Keba Tua itu tidak masalah. Tetapi semakin sering semakin baik, karena hal
tersebut melambangkan seberapa besar tingkat kepuasaan dan rasa syukur
seseorang terhadap segala sesuatu yang telah Allah berikan kepada mereka.Jadi,
semakin sering seseorang mengadakan Keba Tua berarti semakin tinggi pula tingkat
kepuasaan dan rasa bersyukur seseorang tersebut kepada Allah SWT, dan juga
sebaliknya.Pelaksanaan Keba Tua memang tidak diatur dalam Al-Qur’an maupun
dicatat dalam norma hokum sehingga orang yang tidak melaksanakannya tidak akan
mendapatkan sanksi yang mengikat dan memberatkan orang yang tidak melaksanakan
hal tersebut. Hanya saja pelaksanaan dari Keba Tua itu sendiri telah menjadi
bagian dari tradisi atau kebudayaan khususnya di daerah tersebut, sehingga
apabila ada seseorang yang tidak melaksanakan hal tersebut akan mendapat sanksi
yang berupa gunjingan dari masyarakat lain dan cenderung akan dikucilkan oleh
masyarakat yang ada disekitar orang tersebut.
B.
Pelaksanaan
Keba Tua
Seperti halnya upacara atau kegiatan
peringatan yang lainnya, Keba Tua pun mempunyai beberapa syarat. Syarat bagi
seseorang yang akan melaksanakannya dan syarat akan dimulainya acara tersebut.
Syarat pelaksanaan Keba Tua ini hampir sama dengan syarat pelaksanaan Keba
biasa. Jika Keba biasa atau tujuh bulanan bagi ibu yang hamil syaratnya yaitu
dalam acara tersebut makanan yang diberikan
kepada tamu isinya antara lain yaitu ketupat, pisang raja atau ambon,
rujak, dan sebagainya. Tetapi jika Keba Tua makanan yang diberikan kepada
tamunya antara lain adalah sama dengan Keba biasa atau tujuh bulanan hanya saja
tidak ada rujak dan ditambah dengan nasinya dibungkus dengan cobek dan lepet
(nasi ketan yang dibungkus dengan daun janur), dan uraban. Selain syarat yang
di atas, sebelum melaksanakan acara tersebut seseorang yang akan mengadakan
Keba Tua harus menyembelih ayam jago sebanyak anak yang dimiliki oleh orang
yang mengadakan Keba Tua. Dan syarat seseorang mulai diperbolehkan mengadakan
acara seperti di atas adalah jika seorang tersebut sudah umurnya sudah melebihi
umur Nabi Muhammad saw yaitu lebih dari usia 65 tahun, berhenti menstruasi
(haid), semua anaknya sudah menikah, tidak bisa melahirkan lagi. Jika umur
seseorang sudah melampaui umur Nabi tetapi anaknya belum menikah semuanya maka
orang tersebut belum boleh mengadakan Keba Tua begitupun sebaliknya.Dan jika
seseorang mempunyai anak dan anak-anaknya sudah menikah semuannya tetapi orang
tersebut belum berhenti menstruasi (haid) maka belum diperbolehkan untuk
mengadakan Keba Tua dan sebaliknya.
Dalam pelaksanaannya, Keba Tua
dilaksanakan pada bulan Suro (bulan dalam hitungaan Jawa) biasanya dilaksanakan
pada hari dimana hari tersebut merupakan jatuhnya weton seseorang tersebut yang
akan melaksanakan Keba Tua. Tetapi ada juga yang tidak memperdulikan weton
untuk melaksanakan kegiatan Keba Tua tersebut, sedangkan Pemilihan hari sesuai
dengan weton lahirnya adalah warisan cara dalam pemilihan hari baik menurut
orang dulu dan sekarang banyak yang menganggap hal tersebut tidak berpengaruh
terhadap kehidupan maka banyak orang sekarang ini yang sudah tidak mempercayai
lagi bahwa hari baik ditentukan oleh weton seseorang. Dalam prakteknya acara
Keba tua ini dihadiri oleh tamu yang diundang oleh tuan rumah yaitu orang yang
mengadakan Keba Tua. Ada yang menyatakan bahwa tamu yang datang adalah wanita
tetapi ada pula yang menyatakan bahwa yang datang adalah siapa saja tergantung
tuan rumah wanita atau pun pria tidak masalah. Tamu yang datang akan membawa
sesuatu untuk tuan rumah yang mengadakan Keba Tua, hal seperti ini berlangsung
hanya pada saat Keba Tua yang pertama dilakukan oleh tuam rumah jika tuan rumah
telah melakukan Keba Tua untuk yang ke dua atau ke tiga maka tamu tidak diwajibkan
membawa sesuatu untuk tuan rumah. Berlangsungnya acara tersebut dipimpin oleh
seorang Kyai yang telah dipilih sebelumnya oleh orang yang akan mengadakan
acara tersebut. Isi acaranya yaitu berupa pembacaan surat Taubat, yang dibaca
oleh tujuh orang laki-laki yang telah dipilih oleh tuan rumah atau biasanya
telah direkomendasikan oleh Kyai tersebut. Karena sesungguhnya selain bertujuan
mengungkapkan rasa syukur Keba Tua juga bertujuan untuk penghapusan dosa atau
tobat orang yang mengadakan Keba Tua tersebut.Dan biasanya juga tujuh laki-laki
tersebut adalah pemuda yang telah dilatih dan disiapkan untuk acara-acara
tersebut di desanya.Setelah itu, tamu undangan yang telah datang mulai membaca
tahlil yang dipimpin oleh Kyai tersebut.Tamu undangan juga temasuk anak, cucu,
sanak, dan saudara dari orang yang sedang mengadakan Keba Tua, keluarga mereka
tidak harus datang tetapi diutamakan agar semua anggota keluarga yang masih
hidup untuk datang dan ikut melaksanakan prosesi Keba Tua. Setelah itu, Kyai
yang telah dipilih tadi akan mengirimkan doa khusus untuk orang yang mengadakan
Keba Tua tersebut. Setelah acara selesai maka tamu undangan dipersilahkan
pulang dan makanan yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh tuan rumah yang
antara lain berisi ketupat, pisang, lepet, dan uraban tadi diberikan kepada
tamu-tamu undangan yang telah datang.
Tempat pelaksanaan Keba Tua itu
sendiri tidak tergantung dimana tempat lahir seorang yang akan melaksanakan
Keba Tua itu. Dengan kata lain, Keba Tua dapat dilakukan dimana saja terserah
kepada orang yang akan melaksanakannya. Karena menurut masyarakat, tempat
dimana dilaksanakan Keba Tua tidak menjadi permasalahan tetapi yang paling
utama adalah tentang tujuan melaksanakan Keba Tua tersebut.Tujuannya harus
sesuai dengan tujuan utama melakukan Keba Tua yaitu mengunggkapkan rasa syukur
kepada Allah SWT karena segala yang telah diberikan oleh Nya.
Rabu, 28 November 2012
Proses Sosial
-->
Sosialisasi Pengalaman Sepanjang
Hidup
Sosialisasi merupakan suatu proses yang
dialami oleh setiap individu sebagai mahluk sosial di sepanjang kehidupannya,
dari ketika ia dilahirkan sampai akhir hayatnya. Bentuk-bentuk kehidupan
individu dalam siklus kehidupannya. George Ritzer membagi siklus kehidupan
manusia dalam empat tahap, yaitu tahap kanak-kanak, tahap remaja, tahap dewasa,
dan tahap orang tua.
1. Masa
Kanak-kanak
Seorang ahli sosiologi akan melihat
kewajiban ini sebagai bagian dari peran sosial orang tua. Kewajiban orang tua
pada proses sosialisasi di masa kanak-kanak ini adalah untuk membentuk
kepribadian anak-anaknya. Apa yang dilakukan orang tua apa anak di masa awal
pertumbuhannya sangat menentukan kepribadian anak-anak tersebut.
Yang menjadi agen sosialisasi pada masa
kanak-kanak ini pada umumnya adalah orang tua dan anggota keluarga lainnya yang
merupakan significant other bagi
anak, dan orang tualah yang menjadi role model bagi seorang anak dalam
memebentuk perilakunya. Self anak dibentuk dan berkembang melalui interaksi
dengan significant othersnya.
2. Masa
Remaja
Masa remaja merupakan masa transmisi
dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Remaja dalam gambaran yang umum
merupakan suatu periode yang dimulai dengan perkembangan masa pubertas dan
menyelesaikan pendidikan untuk tingkat menengah. Perubahan biologis yang
membawanya pada usia belasan (teenagers) seringkali mempengaruhi perilaku masa
remaja. Masa remaja merupakan masa yang membedakan antara jenjang anak-anak di
satu sisi dan jenjang orang dewasa di sisi lain. Masa remaja merupakan hasil
sosial.
Agen sosialisasi berubah ketika
seseorang menginjak masa remaja, dimana sosialisasi yang dilakuakan oleh peer
group menjadi sangat bahkan lebih penting.
3. Masa
Dewasa
Ada tiga hal yang diharapkan oleh orang
dewasa, yakni bekerja, menikah dan mempunyai anak. Sosialisasi pada masa dewasa
merupakan suatu proses dimana individu dewasa mempelajari norma, nilai dan
peranan yang baru dalam lingkungan sosial yang baru pula. Sosialisasi dalam
tahap ini memotivasi individu untuk bekerja, mencari pasangan hidupnya dalam
perkawinan dan mempunyai anak sebagaimana layaknya orang dewasa.
4. Masa
Tua dan Menuju Kematian
Orang lanjut usia merupakan masa
transisi dari orang dewasa produktif ke masa menuju kematian. Ketika seseorang
mencapai lanjut usia mereka harus belajar bergantung kepada orang lain, belajar
untuk tidak terlalu produtif dan menghabiskan sebagian besar untuk waktu-waktu
santai.
Tahap yang paling akhir dalam siklus
kehidupan manusia adalah kematian. Setiap sosial memiliki mekanisme untuk
mempersiapkan orang menuju kematiannya. Proses sosialisasi menuju kematian itu
biasanya secara tidak sadar dialami seseorang, menghadiri pemakaman.
Sumber: Buku Bunga Rampai Sosiologi Keluarga
Langganan:
Postingan (Atom)